Minggu, 14 Agustus 2011

, , , , ,

Kritik Atas Dakwah dengan Kekerasan

Oleh Syamsuddin Ramadhan

Sebagian kaum Muslim berpendapat, bahwa menegakkan Daulah Islamiyyah, mustahil bisa diwujudkan tanpa mengangkat senjata.    Mereka menyatakan bahwa kewajiban mengangkat senjata di depan penguasa fasiq, orang-orang kafir, maupun musyrik didukung oleh hujjah-hujjah sebagai berikut;
  1. Murtadnya Daulah dan penguasa negeri Islam.  Ini didasarkan pada kenyataan –setelah lenyapnya Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, dan digantikannya seluruh hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum kufur--, negara dan penguasanya telah murtad dari Islam. Oleh karena itu, Daulah (negara) dianggap telah murtad dari syariat tatkala hukum-hukum syariat diganti dengan undang-undang kufur buatan orang-orang kafir.  Keadaan ini juga menimpa penguasa Muslim.  Mereka telah keluar dari Islam tatkala menerapkan hukum-hukum yang tidak diturunkan oleh Allah swt, memberikan keuntungan bagi kaum imperialis, Salibis, dan Sosialis.  Mereka memeluk Islam hanya sekedar nama belaka; meskipun masih mengerjakan sholat, puasa, dan mengaku dirinya sebagai seorang Muslim.   Negaranya juga disebut negara kufur, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam.  Dalam kondisi semacam ini, daulah dan penguasa tersebut wajib diperangi.  
  1. Kaedah ushul fiqh, "Tidak tersempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib."   Menurut mereka, Allah swt telah mewajibkan kaum Muslim untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah.; sedangkan Khilafah Islamiyyah tidak mungkin tegak tanpa dengan jihad dan peperangan.  Oleh karena itu, peperangan dan jihad menjadi kewajiban atas kaum Muslim.
  2. Ada nash-nash yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang dan berjihad di setiap negeri yang dikuasai oleh orang-orang kafir.   Pada dasarnya, musuh-musuh Islam dan kaum Muslim berada di negeri-negeri kaum Muslim, bahkan mereka berhasil menguasai urusan-urusan kaum Muslim. Musuh-musuh ini adalah para penguasa yang telah mencerabut kepemimpinan kaum Muslim dari negeri-negeri tersebut.  Oleh karena itu, berjihad memerangi mereka adalah kewajiban.
  3. Wajibnya memerangi penguasa yang telah menampakkan kekufuran yang nyata.   Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya, “Rasulullah saw telah menyeru kepada kami, kemudian kami membai’at beliau saw untuk selalu mendengar dan mentaati, baik dalam kondisi yang kami senangi, kami benci, maupun dalam kondisi susah maupun lapang, dan agar kamu tidak memerangi penguasa kecuali nampak kekufuran yang nyata, yang bisa dibuktikan dengan bukti dari Allah”.[HR.Bukhari].
Inilah beberapa argumentasi yang diketengahkan sebagian kaum Muslim yang menempuh jalan peperangan untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah.  Adapun kritik atas pendapat tersebut adalah sebagai berikut;
  1. Dalil tentang kemurtadan negara dan penguasa.   Mereka mengatakan, bahwa pihak yang telah keluar dari Islam (murtad) adalah para penguasa di negeri-negeri kaum Muslim, bukan kaum Muslim kebanyakan.  Oleh karena itu, cara untuk merebut kekuasaan Islam dari tangan mereka (menegakkan Khilafah Islamiyyah) adalah memerangi mereka dengan pedang.   Untuk menjawab argumentasi ini, kita harus mengajukan dua pertanyaan penting kepada mereka;
(a)    Apakah penguasa-penguasa Islam yang menerapkan hukum-hukum kufur tersebut bisa dianggap murtad atau kafir?
(b)   Bolehkah sebuah jama'ah, partai politik, dan pihak-pihak yang tidak memiliki kekuasaan syar'iy memerangi orang-orang yang murtad?  
Jawabannya adalah sebagai berikut;
a.       Pada dasarnya, kita tidak boleh serta merta menjatuhkan vonis kekafiran kepada penguasa-penguasa yang menerapkan hukum-hukum non Islam di tengah-tengah kaum Muslim.  Sebab, belum tentu penguasa yang menerapkan aturan-aturan kufur terjatuh ke dalam kemurtadan.    Allah swt berfirman;
"Barangsiapa tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir."[al-Maidah: 44]
"Barangsiapa tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang yang fasiq."[al-Maidah:45]
"Barangsiapa tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang yang dzalim."[al-Maidah:47]
Berkenaan dengan masalah ini, para shahabat dan ulama telah membahasnya secara terperinci, kapan seorang penguasa dianggap telah keluar dari agama Islam.  Kesimpulannya adalah sebagai berikut;    Siapa saja yang berhukum dengan selain aturan Islam sebagai bentuk penolakan dari ketentuan Allah swt, atau meragukan kelayakan hukum-hukum Islam, atau menyakini bahwa hukum selain Islam lebih baik dan layak, maka penguasa semacam ini telah kafir; dan ia dianggap murtad jika sebelumnya memeluk agama Islam.
              Adapun jika penguasa tersebut menerapkan aturan-aturan kafir bukan karena sebab-sebab yang telah disebutkan di atas, misalnya karena tekanan pihak lain, menurutkan hawa nafsu dan syahwat, atau takut mendapatkan serangan musuh, maka penguasa semacam ini dihukumi fasiq dan dzalim, bukan kafir.  Jika penguasa tersebut, seorang Muslim, ia tidak bisa dianggap murtad dari Islam, jika alasan-alasan dirinya menerapkan hukum kufur karena sebab-sebab seperti ini.  Oleh karena itu, untuk menjatuhkan vonis kafir atau murtad pada diri seseorang harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan.   Jika seseorang meragukan kelayakan dan kemampuan hukum Islam, atau menyakini bahwa hukum selain Islam lebih baik dibandingkan dengan hukum Islam, maka orang semacam ini dihukumi kafir, dan murtad jika ia seorang Muslim.   Dengan kata lain, bukti pengkafiran harus pasti dan menyakinkan; tidak cukup didasarkan pada prasangka kuat (ghalabat al-dzann).  Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya, “Rasulullah saw telah menyeru kepada kami, kemudian kami membai’at beliau saw untuk selalu mendengar dan mentaati, baik dalam kondisi yang kami senangi, kami benci, maupun dalam kondisi susah maupun lapang, dan agar kamu tidak memerangi penguasa kecuali nampak kekufuran yang nyata, yang bisa dibuktikan dengan bukti dari Allah”.[HR.Bukhari].  Yang dimaksud al-burhan (bukti) di dalam hadits ini adalah bukti yang bisa menghasilkan keyakinan.
b.      Apakah sebuah jama'ah, atau partai politik boleh memerangi orang-orang murtad, padahal ia tidak memiliki kewenangan (kekuasaan) secara syar'iy ?  Sesungguhnya, menegakkan hudud –diantaranya had riddah (murtad)--, yakni perang melawan orang-orang murtad hingga mereka mau bertaubat atau tetap diperangi, adalah wewenang imam (khalifah) semata.  Tak seorangpun, baik individu maupun jama'ah  diperbolehkan memberlakukan hukum-hukum semacam ini kepada masyarakat.   Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Imam itu adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."[HR. Bukhari].  Kewenangan untuk mengatur urusan rakyat ada di tangan Khalifah  --termasuk di dalamnya memerangi orang murtad---,  kecuali ada dalil yang mengkhususkannya; misalnya bolehnya seseorang tuan menjatuhkan had zina bagi budak laki-laki maupun perempuannya.
              Hanya saja, tak ada satupun dalil yang menunjukkan bolehnya seorang individu maupun jama'ah menjatuhkan sanksi bunuh bagi orang-orang yang murtad.   Oleh karena itu, seorang individu maupun jama'ah tidak boleh menjatuhkan sanksi riddah bagi orang-orang yang murtad dari Islam, lebih-lebih lagi diorganisir sedemikian rupa untuk memerangi orang-orang yang murtad dari Islam.
2.      Adapun kaedah ushul yang mengatakan, "Tidak tersempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib", sesungguhnya, jika kaedah ini diterapkan pada suatu masalah tanpa memperhatikan nash-nash khusus yang menunjukkan hukum yang lebih khusus, atau tanpa memperhatikan kaedah-kaedah syara' lain, pasti akan menimbulkan pertentangan dan kontradiksi dalam pengambilan hukumnya.   Misalnya, pada kasus yang sedang kita perbincangkan ini.   Sebagian kaum Muslim yang berpendapat wajibnya berdakwah dengan pedang menyodorkan argumentasi dengan menyatakan, "Menegakkan khilafah Islamiyyah adalah wajib.  Sedangkan menegakkan khilafah tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa adanya peperangan.  Oleh karena itu, peperangan (dakwah dengan senjata) adalah wajib. "  Namun demikian, mungkin saja ada orang yang menyatakan, "Mengangkat pedang di hadapan kaum Muslim adalah haram, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Siapa saja yang membawa pedang (menghunus pedangnya untuk memerangi kaum Muslim) bukan termasuk golongan kami."[HR. Bukhari, Muslim, dan Turmidziy].   Menegakkan Daulah Islamiyyah merupakan kewajiban yang tidak akan tersempurna kecuali dengan mengangkat senjata.   Padahal, mengangkat senjata adalah perkara yang diharamkan.    Dengan demikian, telah berkumpul dua perkara kontradiktif dalam satu masalah.   Sedangkan kaedah ushul mengatakan, "Jika perkara yang haram berkumpul dengan perkara yang halal, maka dimenangkan yang haram."  Dari kaedah ini  bisa disimpulkan bahwa mengangkat pedang di hadapan penguasa Muslim adalah haram secara mutlak. Bisa saja ada orang yang menyatakan, bahwa motif disyariatkannya suatu hukum adalah untuk meraih maslahat.  Sedangkan menumpahkan darah kaum Muslim adalah mafsadat (kerusakan).  Padahal, kaedah syara' menyatakan, "Meninggalkan mafsadat (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil mashlahat".   
Walhasil, penggunaan kaedah "ma laa yatimmu al-wajib fahuwa al-wajib" untuk membenarkan jalan kekerasan jelas-jelas tertolak.
3.      Pada dasarnya, argumentasi ketiga ini disandarkan kepada asumsi murtadnya penguasa kaum Muslim setelah mereka menegakkan hukum-hukum kufur.   Jawaban atas pendapat ini telah kami kemukakan pada point pertama.  Adapun argumentasi wajibnya berdakwah dengan pedang (senjata) dikarenakan status status negeri-negeri kaum Muslim yang telah dikuasai oleh orang-orang kafir, maka hal ini perlu pengkajian lebih lanjut.
Memang benar, jika suatu negeri dikuasai oleh musuh, kaum Muslim yang ada di negeri itu wajib mengangkat senjata untuk memerangi dan mengusir musuh; seperti halnya pendudukan Israel atau Palaestina.  Jika penduduk negeri itu tidak mampu, maka kewajiban itu meluas hingga ke negeri-negeri lainnya.   Begitu pula jika penguasa kaum Muslim telah murtad dari Islam, atau menampakkan kekufuran yang nyata, maka kaum Muslim wajib mencabut kekuasaannya dengan kekerasan.    Imam Nawawiy dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Jika seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka seluruh kaum Muslim wajib memeranginya, dan mencopotnya.” [1]  Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah seluruh negeri kaum Muslim telah dikuasai oleh musuh sehingga seluruh kaum Muslim wajib mendeklarasikan peperangan untuk melenyapkan musuh-musuh yang menguasai negeri-negeri kaum Muslim?  
Jika kita amati realitas negeri-negeri kaum Muslim, kita akan mendapatkan, bahwa tidak semua negeri kaum Muslim berada dalam penguasaan kaum kafir, sehingga kaum Muslim wajib mengumandangkan peperangan untuk melenyapkan cengkeraman orang-orang kafir tersebut.   Kebanyakan negeri kaum Muslim tetap dikuasai oleh penguasa Muslim yang menerapkan aturan-aturan barat, menghambakan diri kepada kepentingan barat, dan menindas umat Islam.   Hanya saja, kebanyakan penguasa ini masih memeluk Islam dan menyakini pokok-pokok ‘aqidah Islam.    Hanya sebagian negeri kaum Muslim saja yang dikuasai oleh kaum kafir secara langsung, misalnya Palestina.   Oleh karena itu, kita tidak bisa menyatakan, bahwa negeri-negeri yang diperintah oleh penguasa-penguasa Islam yang menerapkan hukum-hukum kufur itu sama dengan negeri yang dikuasai oleh musuh.  Sebab, realitas negeri-negeri Islam sama sekali tidak menunjukkan hal ini.   Negeri-negeri tersebut tetap dimiliki oleh kaum Muslim dan tidak sedang berada dalam cengkeraman kaum kafir.   Oleh karena itu, pendapat yang dinyatakan oleh sebagian kaum Muslim yang mewajibkan jihad untuk membebaskan negeri-negeri kaum Muslim dari cengkeraman musuh adalah pendapat keliru yang disebabkan karena pengamatan fakta yang kurang mendalam.
4.      Dalil keempat adalah kewajiban memerangi penguasa yang telah menampakkan kekufuran yang nyata.   Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya, “Rasulullah saw telah menyeru kepada kami, kemudian kami membai’at beliau saw untuk selalu mendengar dan mentaati, baik dalam kondisi yang kami senangi, kami benci, maupun dalam kondisi susah maupun lapang, dan agar kamu tidak memerangi penguasa kecuali nampak kekufuran yang nyata, yang bisa dibuktikan dengan bukti dari Allah”.[HR.Bukhari]; dan masih banyak riwayat-riwayat lain yang senada dengan hadits ini. 
Pada dasarnya, pengertian yang terkandung di dalam hadits ini tidak bisa diterapkan untuk kondisi sekarang.   Sebab, frase hadits itu dengan sangat jelas menyatakan, bahwa perang terhadap penguasa itu disyariatkan tatkala ada kekufuran yang nyata. Selain itu, pengertian hadits di atas juga menunjukkan, bahwa disyariatkannya peperangan melawan penguasa hanya terjadi tatkala ada kondisi  tertentu yang dibenarkan oleh syariat;  yakni, pergantian atau perubahan kekuasaan Islam disebabkan karena adanya kekufuran yang nyata. 
Adapun jika kekuasaan kufur itu telah tegak, dan tidak ada perubahan atau pergantian kekuasaan dikarenakan hadirnya kekufuran yang nyata, maka hadits-hadits yang berbicara tentang kekufuran yang nyata tersebut tidak bisa diterapkan pada kondisi semacam ini.   Oleh karena itu, dalil keempat ini pun tertolak secara akademis.   
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menegakkan Daulah Islamiyyah tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan. [Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu al-Taufiq]

[1] Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8/35

0 komentar :

Posting Komentar