Oleh: Hafidz Abdurrahman
Ada yang berbeda, ketika Ramadhan di bawah naungan Khilafah,
dengan ketika Khilafah telah tiada. Tanpa Khilafah, bulan suci Ramadhan
1432 H yang mulia ini telah berubah. Di tangan umat yang telah mengalami
kemunduran intelektual, bulan suci yang agung ini telah berubah dari
bulan Perang Badar (17 Ramadhan 2 H), Pembebasan kota Makkah (20
Ramadhan 8 H), Pembebasan Sind, India (6 Ramadhan 92 H), Pembebasan
Andalusia (awal Ramadhan 91 H), Pembebasan Shaqliyyah (9 Ramadhan 212
H), Pembaiatan Khalifah al-Qadir (11 Ramadhan 381 H), Perang ‘Ain Jalut
(25 Ramadhan 658 H), Pembebasan Antiock (awal Ramadhan 666 H) dan bulan
bekerja keras berubah menjadi bulan bermalas-malasan, hiburan, liburan
dan jor-joran.
Beberapa dekade telah berlalu, dan Ramadhan pun selalu kita
tinggalkan di belakang kita seperti anak yatim, meratap dan tak berdaya.
Tiap tahun Ramadhan selalu menghampiri kita, dan begitu cepat berlalu;
dilupakan dan tidak tercatat sedikit pun dalam lembarannya kemunduran
demi kemunduran kita..
Bagaimana Ramadhan tidak berlalu dari kehidupan kita dengan cepat,
ketika kita terus-menerus tenggalam dalam pemandangan yang hina dina,
berulang-ulang setiap tahun. Virus-virus mematikan yang menyebarkan
berbagai kejahatan dan racun dengan bentuk dan warnanya, disaksikan dan
didengarkan semua orang dengan mata dan telinga mereka, disebarkan
melalui media massa. Semuanya bersembunyi dengan kedok acara Ramadhan.
Ini adalah bulan suci Ramadhan. Bulan al-Qur’an, yang diturunkan
sebagai pembeda antara yang haq dan batil. Al-Qur’an telah dijadikan
sebagai hukum untuk umat manusia, dan way of life mereka. Diturunkan dari langit untuk dibaca dan ditelaah, serta menjelaskan hukum pemerintahan, guna memberikan gambaran road map kepada
umat manusia agar bisa meraih hidayah dan taufik-Nya. Sementara kini,
kita menyaksikan al-Qur’an diterlantarkan dari kehidupan; diperangi oleh
penguasa, diangungkan hanya dengan dicium, tetapi isinya terus
diinjak-injak, kemudian diletakkan di rak-rak buku.
Ramadhan adalah bulan kemenangan dan pembebasan. Di situlah momentum
Perang Badar Kubra bisa kita saksikan. Pembebasan kota Makkah yang tidak
mungkin kita hapus dari ingatan. Di bulan ini, ‘Amuriyah, salah satu
kota penting Romawi setelah Konstantinopel, dibebaskan setelah seorang
wanita menjerit, Wa Mu’tashimah (Wahai Mu’tashim)! Diikuti
dengan Perang ‘Ain Jalut, dimana tentara Tatar berhasil dikalahkan, dan
dikejar oleh Sultan Qutuz. Kepada tentaranya, dia serukan, Wa Islamah (Wahai Islam)! Dengan mengangkat kedua tangannya ke langit, bermunajat kepada Allah, seraya berkata, Ya Allah wa Baghdad! Dan masih banyak peristiwa heroik lainnya di bulan sucin ini.
Tetapi sekarang, lihatlah al-Aqsha masih dalam cengkraman agresor,
Yahudi; Afganistan, Irak dan Pakistan juga bernasib sama, masih dalam
cengkraman agresor Amerika, Inggris dan negara-negara penjajah lainnya.
Dan tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya. Irak setiap hari
menjadi saksi penodaan kehormatan kaum Muslim. Tanah Afganistan,
Pakistan hingga Uzbekistan pun mengadukan nasibnya kepada Allah, dan
siapa saja yang menelantarkan dan menjualnya. Para aktivis dan pejuang
Islam pun banyak mendekam di penjara-penjara bawah tanah, disiksa dan
mati syahid, hanya karena mereka menyatakan, “Tuhan kami adalah Allah
SWT.”
Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan agung dan sangat dihormati. Di bulan ini, kaum Muslim menjadi rahib
di malam harinya, sedangkan di siang harinya menjadi para pekerja
keras. Di bulan yang mulia ini mereka telah meraih berbagai capaian
besar. Namun sekarang, tiap penguasa justru memanfaatkan hilal untuk
memecah belah kaum Muslim, serta menjauhkan mereka dari persatuan.
Alih-ahli menjadikan Ramadhan sebagai bulan kerja keras dan
sungguh-sungguh, justru Ramadhan telah dijadikan sebagai bulan libur
tahunan. Masyarakat pun dihinggapi sifat malas dan santai, seolah-olah
Ramadhan adalah bulan tidur di siang hari, serta begadang hingga tengah
malam untuk melakukan hal-hal bodoh.
Begitulah, kita melihat Ramadhan sebagai syiar yang tercerabut dari
hukum, sejarah dan memori kemuliaan yang melekat pada dirinya. Ini jelas
merupakan upaya sistematis untuk membelokkan Islam agar menjadi agama
asketis, yang tidak mempunyai pengaruh dalam kehidupan, yang menjadi
tujuan hidup umat Islam. Mencerabut Islam dari hukum-hukumnya, kesucian
maknanya hingga rukun dan kewajiban yang terkait dengan jamaah,
masyarakat, negara dan umat. Dengan proyek Deradikalisasi Islam, jihad
telah dibelokkan untuk perang melawan hawa nafsu. Sedangkan memerangi
kaum Kafir yang jelas-jelas menyerang Islam dan kaum Muslim tidak boleh,
dan dicap sebagai aksi terorisme. Kewajiban mengubah kemunkaran, dan
mengenyahkan thaghut, digambarkan sebagai mencelakakan diri
sendiri. Sedangkan menegakkan Islam dalam negara Khilafah untuk
melindungi umat, menjaga agama dan memakmurkan dunia dianggap ilusi.
Sementara tunduk pada Barat dan bersikap pragmatis, bahkan oportunis
dianggap sebagai sikap cerdas.
Mungkinkah sejarah keagungan Ramadhan akan terulang kembali? Jelas
mungkin. Tentu tidak mustahil semuanya itu akan kembali lagi, hingga
tiap mata orang Mukmin akan meneteskan air mata. Allah SWT akan
senantiasa diangungkan dengan sebenar-benarnya. Menara-menara masjid
akan mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan doa. Masjid-masjid akan
menjadi taman-taman surga; pusat ilmu pengetahuan; universitas bagi para
ulama’ dan intelektual; para perwira tentara dan polisi akan memacu
kendaraan mereka untuk memerangi musuh, bukan menangkap para ulama’ dan
pengemban dakwah. Media massa, iklan dan sarana komunikasi lainnya akan
digunakan untuk membangun kesadaran umat; meniupkan spirit keimanan yang
melahirkan ketenteraman, kerelaan dan mengalahkan dunia untuk beribadah
kepada Allah SWT.
Ya, Ramadhan akan kembali menjadi mercusuar, yang mampu meleburkan
makna persatuan, dan mampu menyatukan hubungan manusia dengan
penciptanya. Bendera tauhid, Lailaha Illa-Llah Muhammad Rasulu-Llah akan berkibar ke seluruh penjuru Dar al-Islam.
Sebab, dakwah kepada Allah tetap berjalan, meski berbagai rintangan,
kesulitan dan tantangan menghadang. Keimanan telah menenangkan jiwa para
pemuda Mukmin sebagai orang Islam yang sebenarnya semata untuk meraih
ridha Allah. Demikian juga mafhum kebangkitan benar-benar telah
mengakar dalam benak mereka, dan tetap kokoh bersemayam di sana. Mereka
pun bisa mewujudkan misi mendirikan Khilafah, yang sering dicap sebagai
mission imposible, menjadi mission posible dengan izin dan pertolongan Allah.
Inilah momentum itu. Kami rindu menyaksikannya ada padamu, wahai
Ramadhan. Kami pun yakin, kamu pun merindukannya. Saat itu, kita bisa
bersama-sama berhenti lama, siang dan malam, untuk berjuang, berdoa,
mencari ilmu, berjihad dan berijtihad demi kebaikan yang membawa manfaat
bagi seluruh makhluk, serta diridhai oleh Allah SWT. Namun, momentum
itu hanya akan kita temukan, ketika kamu dan kami, sama-sama dalam
naungan Khilafah Rasyidah.. Tanpanya, kondisi kita akan tetap papa dan
hina dina seperti saat ini. [sumber]
0 komentar :
Posting Komentar