Selasa, 02 Agustus 2011

, , ,

Ramadhan Tanpa Khilafah

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Ada yang berbeda, ketika Ramadhan di bawah naungan Khilafah, dengan ketika Khilafah telah tiada. Tanpa Khilafah, bulan suci Ramadhan 1432 H yang mulia ini telah berubah. Di tangan umat yang telah mengalami kemunduran intelektual, bulan suci yang agung ini telah berubah dari bulan Perang Badar (17 Ramadhan 2 H), Pembebasan kota Makkah (20 Ramadhan 8 H), Pembebasan Sind, India (6 Ramadhan 92 H), Pembebasan Andalusia (awal Ramadhan 91 H), Pembebasan Shaqliyyah (9 Ramadhan 212 H), Pembaiatan Khalifah al-Qadir (11 Ramadhan 381 H), Perang ‘Ain Jalut (25 Ramadhan 658 H), Pembebasan Antiock (awal Ramadhan 666 H) dan bulan bekerja keras berubah menjadi bulan bermalas-malasan, hiburan, liburan dan jor-joran.

Beberapa dekade telah berlalu, dan Ramadhan pun selalu kita tinggalkan di belakang kita seperti anak yatim, meratap dan tak berdaya. Tiap tahun Ramadhan selalu menghampiri kita, dan begitu cepat berlalu; dilupakan dan tidak tercatat sedikit pun dalam lembarannya kemunduran demi kemunduran kita..
Bagaimana Ramadhan tidak berlalu dari kehidupan kita dengan cepat, ketika kita terus-menerus tenggalam dalam pemandangan yang hina dina, berulang-ulang setiap tahun. Virus-virus mematikan yang menyebarkan berbagai kejahatan dan racun dengan bentuk dan warnanya, disaksikan dan didengarkan semua orang dengan mata dan telinga mereka, disebarkan melalui media massa. Semuanya bersembunyi dengan kedok acara Ramadhan.
Ini adalah bulan suci Ramadhan. Bulan al-Qur’an, yang diturunkan sebagai pembeda antara yang haq dan batil. Al-Qur’an telah dijadikan sebagai hukum untuk umat manusia, dan way of life mereka. Diturunkan dari langit untuk dibaca dan ditelaah, serta menjelaskan hukum pemerintahan, guna memberikan gambaran road map kepada umat manusia agar bisa meraih hidayah dan taufik-Nya. Sementara kini, kita menyaksikan al-Qur’an diterlantarkan dari kehidupan; diperangi oleh penguasa, diangungkan hanya dengan dicium, tetapi isinya terus diinjak-injak, kemudian diletakkan di rak-rak buku.
Ramadhan adalah bulan kemenangan dan pembebasan. Di situlah momentum Perang Badar Kubra bisa kita saksikan. Pembebasan kota Makkah yang tidak mungkin kita hapus dari ingatan. Di bulan ini, ‘Amuriyah, salah satu kota penting Romawi setelah Konstantinopel, dibebaskan setelah seorang wanita menjerit, Wa Mu’tashimah (Wahai Mu’tashim)! Diikuti dengan Perang ‘Ain Jalut, dimana tentara Tatar berhasil dikalahkan, dan dikejar oleh Sultan Qutuz. Kepada tentaranya, dia serukan, Wa Islamah (Wahai Islam)! Dengan mengangkat kedua tangannya ke langit, bermunajat kepada Allah, seraya berkata, Ya Allah wa Baghdad! Dan masih banyak peristiwa heroik lainnya di bulan sucin ini.
Tetapi sekarang, lihatlah al-Aqsha masih dalam cengkraman agresor, Yahudi; Afganistan, Irak dan Pakistan juga bernasib sama, masih dalam cengkraman agresor Amerika, Inggris dan negara-negara penjajah lainnya. Dan tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya. Irak setiap hari menjadi saksi penodaan kehormatan kaum Muslim. Tanah Afganistan, Pakistan hingga Uzbekistan pun mengadukan nasibnya kepada Allah, dan siapa saja yang menelantarkan dan menjualnya. Para aktivis dan pejuang Islam pun banyak mendekam di penjara-penjara bawah tanah, disiksa dan mati syahid, hanya karena mereka menyatakan, “Tuhan kami adalah Allah SWT.”
Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan agung dan sangat dihormati. Di bulan ini, kaum Muslim menjadi rahib di malam harinya, sedangkan di siang harinya menjadi para pekerja keras. Di bulan yang mulia ini mereka telah meraih berbagai capaian besar. Namun sekarang, tiap penguasa justru memanfaatkan hilal untuk memecah belah kaum Muslim, serta menjauhkan mereka dari persatuan. Alih-ahli menjadikan Ramadhan sebagai bulan kerja keras dan sungguh-sungguh, justru Ramadhan telah dijadikan sebagai bulan libur tahunan. Masyarakat pun dihinggapi sifat malas dan santai, seolah-olah Ramadhan adalah bulan tidur di siang hari, serta begadang hingga tengah malam untuk melakukan hal-hal bodoh.
Begitulah, kita melihat Ramadhan sebagai syiar yang tercerabut dari hukum, sejarah dan memori kemuliaan yang melekat pada dirinya. Ini jelas merupakan upaya sistematis untuk membelokkan Islam agar menjadi agama asketis, yang tidak mempunyai pengaruh dalam kehidupan, yang menjadi tujuan hidup umat Islam. Mencerabut Islam dari hukum-hukumnya, kesucian maknanya hingga rukun dan kewajiban yang terkait dengan jamaah, masyarakat, negara dan umat. Dengan proyek Deradikalisasi Islam, jihad telah dibelokkan untuk perang melawan hawa nafsu. Sedangkan memerangi kaum Kafir yang jelas-jelas menyerang Islam dan kaum Muslim tidak boleh, dan dicap sebagai aksi terorisme. Kewajiban mengubah kemunkaran, dan mengenyahkan thaghut, digambarkan sebagai mencelakakan diri sendiri. Sedangkan menegakkan Islam dalam negara Khilafah untuk melindungi umat, menjaga agama dan memakmurkan dunia dianggap ilusi. Sementara tunduk pada Barat dan bersikap pragmatis, bahkan oportunis dianggap sebagai sikap cerdas.
Mungkinkah sejarah keagungan Ramadhan akan terulang kembali? Jelas mungkin. Tentu tidak mustahil semuanya itu akan kembali lagi, hingga tiap mata orang Mukmin akan meneteskan air mata. Allah SWT akan senantiasa diangungkan dengan sebenar-benarnya. Menara-menara masjid akan mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan doa. Masjid-masjid akan menjadi taman-taman surga; pusat ilmu pengetahuan; universitas bagi para ulama’ dan intelektual; para perwira tentara dan polisi akan memacu kendaraan mereka untuk memerangi musuh, bukan menangkap para ulama’ dan pengemban dakwah. Media massa, iklan dan sarana komunikasi lainnya akan digunakan untuk membangun kesadaran umat; meniupkan spirit keimanan yang melahirkan ketenteraman, kerelaan dan mengalahkan dunia untuk beribadah kepada Allah SWT.
Ya, Ramadhan akan kembali menjadi mercusuar, yang mampu meleburkan makna persatuan, dan mampu menyatukan hubungan manusia dengan penciptanya. Bendera tauhid, Lailaha Illa-Llah Muhammad Rasulu-Llah akan berkibar ke seluruh penjuru Dar al-Islam. Sebab, dakwah kepada Allah tetap berjalan, meski berbagai rintangan, kesulitan dan tantangan menghadang. Keimanan telah menenangkan jiwa para pemuda Mukmin sebagai orang Islam yang sebenarnya semata untuk meraih ridha Allah. Demikian juga mafhum kebangkitan benar-benar telah mengakar dalam benak mereka, dan tetap kokoh bersemayam di sana. Mereka pun bisa mewujudkan misi mendirikan Khilafah, yang sering dicap sebagai mission imposible, menjadi mission posible dengan izin dan pertolongan Allah.
Inilah momentum itu. Kami rindu menyaksikannya ada padamu, wahai Ramadhan. Kami pun yakin, kamu pun merindukannya. Saat itu, kita bisa bersama-sama berhenti lama, siang dan malam, untuk berjuang, berdoa, mencari ilmu, berjihad dan berijtihad demi kebaikan yang membawa manfaat bagi seluruh makhluk, serta diridhai oleh Allah SWT. Namun, momentum itu hanya akan kita temukan, ketika kamu dan kami, sama-sama dalam naungan Khilafah Rasyidah.. Tanpanya, kondisi kita akan tetap papa dan hina dina seperti saat ini. [sumber]

0 komentar :

Posting Komentar